Kamis, 16 Agustus 2012

Taman Usang


Aku termenung melihat semuanya. Bagaimana mungkin taman ini sudah usang? Bagaimana mungkin bunga aster itu telah ditemani rumput ilalang? Bagaimana mungkin kenangan yang dulu pernah terjadipun ikut tenggelam bersamanya?
            Kemudian, kakiku melangkah menuju sebuah bangku kayu tua yang berada ditengah sana. Aku duduk, memandang seluruh isi taman dari posisi ini memang pas, hanya satu yang kurang, seseorang yang biasa duduk disampingku untuk mendengarkan semua apa yang terjadi hari ini padaku, yang sesekali tertawa renyah kemudian mengacak rambutku, yang selalu mengenakan kaus lengan panjang dan celana bahan hitam. Kemana ia? Dimana ia? Aku rindu…..
                                                                                                       
Aku tidak tau jika semua kisah memang harus ada akhir. Jika mengetahuinya sejak awal, aku akan memilih untuk tidak mengenalnya lebih jauh, tidak akan menjadikannya seseorang yang berarti dalam hidupku. Mengapa harus ada akhir jika sudah ada awal? Mengapa masa lalu selalu pahit untuk dikenang?
            Namanya Kesya. Raihan Kesya Antonio. Anak seorang pengusaha kaya tetapi bergaya sederhana. Caranya berpakaian, tingkah lakunya, dan perlakuannya kepada setiap orang yang ramah, membuatku jatuh hati. Jatuh, ya kesakitan itu mulai terasa ketika kami sudah bersahabat. Memendam perasaan sendiri setiap hari, bertahun-tahun, membuatku ingin meninggalkannya. Tetapi justru dia yang meninggalkanku.
            Aku ingat waktu itu hari Kamis 17 April 2008, ketika ia mengajakku ke sebuah lahan kosong di dekat rumah kami. Aku ingat ketika itu aku ingin membangun taman bersamanya. Aku ingat ketika itu aku mulai merasakan ada yang berbeda dari kelakuannya.
            “Mau tanam bunga apa?” tanyaku.
            “Terserah kamu..”
            “Mawar? Ia indah dan memikat semua orang.”
            “Tapi mawar mudah mencelakakan kita. Mengapa harus yang indah dan memikat jika ada yang sederhana tapi bersahabat?”
            “Maksudmu?”
            “Ya itu. Sudahlah lupakan. Aku bawanya bibit aster.”
            “Baik, hmmm. Yaudah gapapa. Yuk tanam. Kita mulai dari sana.” Tunjukku pada pojok taman.
            “Tidak bisa seperti itu, Nesya. Lahan ini kosong, kau tau itu.”
            “Lalu?”
            “Kita harus mengubahnya terlebih dahulu.”
            Kemudian aku hanya mengangguk. Mengambil seluruh peralatan pertanian yang ada di rumahku dan mulai menghias lahan kosong tersebut bersamanya. Semua terasa berkesan, setiap detiknya. Seolah didukung oleh waktu, kami selesai menghiasnya ketika senja datang. Sekarang, lahan kosong tersebut sudah kami sulap menjadi sebuah perkebunan kecil yang siap ditumbuhi bibit aster.
            “Aku rasa, kita harus menambahkan kursi disana.” Katanya menunjuk tengah taman.
            “Ya, besok saja. Aku sudah lelah.”
            Kesya mengangguk dan kami bergegas pulang.

Beberapa bulan kemudian….
            Aster telah tumbuh. Taman telah indah. Malam telah datang. Kami duduk di sebuah bangku dari kayu yang kami buat bersama. Aku meliriknya. Kepalanya sedang mendongak keatas, memandang langit. Kemudian…
            “Nesya,”
            “Ya?”
            “Jika suatu saat nanti aku pergi, apa yang akan kau lakukan?”
            “Mengapa bertanya seperti itu?”
            “Kau hanya perlu menjawabnya. Tidak usah balik bertanya.”
            “Hmmm.. tidak ada. Hanya menunggumu sampai kau kembali.”
            “Jika aku tidak kembali?”
            “Aku akan ikut pergi kalau begitu. Bagaimanapun juga, kau sahabatku. Kau salah satu bagian tubuhku, jika kau hilang, maka aku tidak akan menjadi Nesya yang sempurna.”
            “Kau berlebihan. Kau tau? Yang berlebihan itu akan cepat mengurangi.”
            “Menurutmu mungkin ya. Tapi menurutku itu tidak berlebihan. Tapi itu yang namanya sahabat kan? Kau tidak percaya? Kau bisa tanya pada hatiku. Dan kau harus tau yang namanya hati kecil itu gak akan pernah bohong.”
            Aku tau, saat itu aku berbohong. Demi persahabatan kami, aku tidak mengatakan semua apa yang hati kecilku katakan. Kesya, aku mencintaimu. Lebih dari sekedar teman. Tidakkah kau sadar akan hal itu?
            “Hahahahaha. Kau lucu, Sya. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih karena telah menganggapku lebih. Terima kasih telah membuat semuanya lebih indah.”
            “Bukankah harusnya sepasang sahabat seperti itu?”
            “Ya, tapi aku harus pergi…”
            Bom. Kalian tau bom? Bom itu meledak begitu saja, tanpa aku ketahui, tanpa aku persiapkan untuk menerima semuanya. Hatiku hancur, menjadi serpihan yang sudah tak dapat dirangkai lagi. Aku hanya terdiam, menunduk, mengatur nafasku dan berusaha untuk tidak menangis.
            “Sya, aku mau pulang. Kau bisa mengantarkanku bukan?”
            “Ya, tentu saja.”
            Ia berdiri dan mengenggam tanganku. Untuk pertama kalinya. Kami berjalan menyusuri jalan setapak taman dengan diselimuti oleh bisu. Ketika rumahku sudah tinggal beberapa langkah lagi, ia menggengam tanganku lebih erat. Seolah mengucapkan selamat tinggal. Aku tau, ia berat mengatakan semuanya. Aku tau ia mempunyai perasaan yang sama denganku, tetapi berusaha untuk memendamnya, berusaha untuk tidak menangis, berusaha untuk kuat. Dan sejak saat itu, aku mengerti, terkadang perpisahan dapat membuat seorang laki-laki yang terlihat kuat pun menangis.
            “Terima kasih.” Kataku kemudian membalikkan badan, dan berjalan masuk kedalam rumah. Tetapi kemudian, ia menarik tanganku. Membawaku kedalam pelukannya. Aku terenyak, mengapa ketika kami harus berpisah, justru ada selipan kenangan yang tak dapat terlupakan? Saat ini, aku hanya berharap waktu dapat berhenti. Mengerti akan perasaan kami. Kurasakan, bahuku basah. Aku tau Kesya menangis dalam diam.
            “Kesya, sudahlah. Jika kau ingin pergi, pergilah. aku tidak apa-apa disini. Tolong jangan buat perpisahan ini semakin sakit untuk dijalani.” Aku menarik diri, dan berlari memasuki rumah. Dalam kamar, aku menumpahkan semua emosiku.

Tuhan, jika memang aku dan Kesya tidak untuk dipertemukan sebagai sepasang sahabat, tolong hapus dia dari pikiranku. Tolong, jangan Kau buat sakit ini semakin dalam dan akhirnya tidak terobati. Tuhan, aku ingin yang terbaik untuk kami. Pisahkan saja kami jika memang seharusnya seperti itu. Jangan balut masa remajaku dengan kenangannya yang semu, dirinya yang tak dapat ku genggam, tolong Tuhan… Tolong… Aku mohon….

5 tahun kemudian…
            Tanpa terasa air mata itu kembali jatuh. Setiap mengingatnya, selalu terselip rasa sakit yang menyayatku sedikit demi sedikit. Semakin lama semakin perih. Itu sebabnya aku lebih baik menghindar dari taman ini, tapi hari ini entah mengapa ada yang mendorongku untuk memutar kembali memoriku bersama Kesya.
            “Nesya?” ada yang memanggilku. Suaranya familiar. Seperti………ah tidak mungkin ia ada disini, mungkin itu hanya halusinasiku karena terlalu rindu padanya.
            “Kau Nesya kan?” kali ini ia menepuk bahuku, yang membuat aku melihatnya. Kemudian, mata kami berdua bertemu. Mata itu….mata yang ku rindukan. Mata yang membawa kesejukan. Mata yang selalu bersamaku ditaman ini. Mungkinkah pemiliknya itu Kesya?
            “Ya. Siapa dirimu?”
            “Nesya? Akhirnya kita bertemu kembali. Tidakkah kau rindu padaku, Sya? Aku Kesya…”
            Perlu beberapa menit untuk mencerna kalimat terakhirnya. Aku melihatnya lebih seksama, kemudian ia tersenyum. Dan sekarang hatiku merasakan kenyamanan luar biasa, darahku mengalir bebas saat ku lihat senyumnya. Benar, ini pasti Kesya. Tidak salah lagi.
            “Kesya? Raihan Kesya Antonio?” kataku, meyakinkan diri sendiri.
            “Iya, Sya. Ini aku Kesya. aku kembali. Untukmu.”
            Tak ada yang bicara. Aku butuh beberapa waktu untuk kembali mencerna kata-katanya yang terakhir. Hanya semilir angin dan rumput ilalang yang seolah berteriak bahwa inilah saatnya untuk memberitahu perasaan kami masing-masing.
            Kesya kemudian berjalan dan duduk di sampingku. Ia memandang langit –aku melihatnya dari ekor mata- kemudian…..
            “Kenapa kau menungguku, Sya?” tanyanya.
            “Aku gak tau. Mungkin karena aku yakin kau akan kembali.” Jawabku, terlontar begitu saja.
            Terdengar helaan nafas Kesya. Panjang dan berat. Aku tersenyum samar, lalu kupandangi wajahnya.
            “kalau emang ada alasan untukku agar bertahan, aku yakin alasan itu kamu. Aku gak tau kenapa aku milih kamu. Karena cinta pun tumbuh tanpa alasan, bukan? Jika ada alasan, ketika alasan itu hilang maka cinta akan ikut hilang bersamanya.”
            “Kau tidak berubah. Selalu saja erlebihan jika menanggapi suatu hal.”
            “Aku serius, Sya. Jika aku menganggapnya berlebihan, mungkin sekarang aku tidak ada disini. Aku tidak akan menunggumu.”
            Kesya tersenyum, tatapan matanya menghangat. Aku tau ia percaya padaku.
            “Maaf sudah membuatmu menunggu,” katanya. Kemudian ia menaikkan kelingkingnya.
            Aku tertawa dan mengaitkan kelingkingku. “Jangan pergi lagi, Sya. Disini saja. Kita bangun Indonesia menjadi negara yang maju bersama-sama.”
            “Iya, Nesya. Aku gak akan pergi lagi. Yuk kita bangun taman yang baru, dengan bunga khas Indonesia, bunga melati. Bagaimana?”
            Aku mengangguk, kemudian berdiri. Mulai membereskan taman yang sudah usang ini. sambil berdoa, semoga Kesya tau, bahwa selama aku masih bisa bernafas, aku akan terus mencintainya. Sepenuh hatiku. Selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar